Melihat gunung yang sedang terbakar dan bumi yang berguncang akibat gempa, Sang Pangeran merasa tersenyum dalam hatinya, karena ia menyadari bahwa peristiwa ini merupakan pertanda kemurkaan Allah.
Letusan Gunung Merapi pada 1822 memang sangat dahsyat, bahkan laporan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu mengonfirmasi apa yang digambarkan oleh Pangeran Diponegoro.
Penduduk yang tinggal di lereng gunung berlarian meninggalkan rumah mereka, dan tiga desa di Kedu hancur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa letusan ini adalah yang terburuk sejak letusan terakhir pada 1772.
Peristiwa tersebut hampir dipastikan memperkuat keyakinan akan kedatangan Ratu Adil yang diramalkan oleh Jayabaya.
Dalam mitologi Jawa, ada roh penjaga gunung bernama Kiai Sapu Jagad, yang dihormati bersama Ratu Kidul sebagai dua roh penjaga kesultanan.
Pandangan Diponegoro tentang peristiwa ini sebagai pertanda amarah Illahi juga diikuti oleh banyak orang pada masa itu.
Pangeran Diponegoro sendiri percaya pada ramalan Jayabaya, Raja Kediri yang terkenal, yang mengatakan bahwa kedatangan Ratu Adil selalu diawali dengan hujan abu, gempa bumi, petir, kilat, hujan deras, angin kencang, gerhana matahari, dan bulan.
Serangan wabah kolera pada 1821 yang menyebabkan harga beras melonjak dan merusak tatanan sosial, dengan mudah dihubungkan oleh masyarakat pada saat itu dengan masa kekacauan sebelum kedatangan Ratu Adil.
Editor : Redaksi
Artikel Terkait